2.1 Sistem Pembagian Tanah Pada Masa Raffles
Sudan lazim setiap datang penguasa
baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula. Demikian pula dalam
pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan,
meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa
segala macam kekuatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan
dihindarkan. Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi
Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sistem pajak tanah, yang
diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah
satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan
politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat
tanah jajahan pada masa kemudian.
Pengenalan sistem pajak tanah yang
dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya
tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan. Gagasannya itu timbul dari upayanya
untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang dianggap memberatkan
dan merugikan penduduk. Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa
atau rodi, akan memberikan peluang tindakan penindasan, dan tidak akan
mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara. Maka
dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem
pemungutan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik
negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah,
Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan
secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman, terutama dari sawah
yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi,
dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para bupati dan kepala desa
memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara
ini, karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk
kepada kemurahan para penguasa pribumi, dan penindasan terhadap rakyat tidak
dapat dihindarkan, Maka dan itu, Raffles lebih suka memilih penetapan pajak
secara perseorangan, karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang
perpajakan, sekalipun tidak mudah.
Isi pokok sistem pajak tanah yang
diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang
pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal.
Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah
masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang
(II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
1) Pajak Tanah Sawah :
Golongan
I,
1/2 Hasil Panenan
Golongan
II, 2/5
Hasil Panenan
Golongan
III, 1/3
Hasil Panenan
2) Pajak Tanah Tegal :
Golongan
I,
2/5 Hasil Panenan
Golongan
II, 1/3
Hasil Panenan
Golongan
III, 1/4
Hasil Panenan
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang
tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari
penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak.
Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama
dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun
1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa, dan baru pada tahun 1814
diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Dalam pelaksanaannya, sistem
pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya,
karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di
tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan
kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat,
kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat,
penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan
pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak
menimbulkan penyelewengan.
C. PELAKSANAAN LANDRENTE
Kembali kepada soal pajak-tanah
(Landrente) yang diciptakan oleh Raffles dengan pengumuman 11 Pebruari 1811,
ternyata telah mendapat beberapa tantangan. Khususnya dalam bidang
administrasi, telah timbul berbagai kesulitan yang sukar diselesaikan.
Sebagaimana telah disinggung dimuka, peraturan itu terlalu tergesa-gesa
dikeluarkan dan serta merta sudah ada beberapa orang yang tidak dapat
menerimanya. Inilah satu sebab terpenting mengapa landrente tidak dapat
berjalan lancar. Sebab yang lain ialah, keadaan sosial-ekonomis penduduk desa
rata-rata sangat sukar untuk dapat.memenuhi pajak tanah tersebut, padahal
mereka sudah mempunyai kewajiban lain, yakni membayar iuran kas desa.
Sebegitu jauh, setelah diusahakan
sungguh-sungguh, landrente hanya dapat dilaksanakan agak tertib di Jawa Tengah
dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur (Banyuwangi, Probolinggo) di
wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak dapat dijalankan, maka
secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan sistem lama. Demikian
pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa, misalnya di Madura,
Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah ditentukan.
Karena kemacetan-kemacetan yang
dialami dalam pelaksanaan system tersebut, pemerintah akhirnya mengadakan
pembaharuan besar-besaran, meliputi bidang administrasi dan staf pegawai.
Perombakan administrasi keuangan, kecuali yang bersangkut paut dengan landrente
akan digarap oleh Revenue Committee (Komisi Pembaharuan) yang dibentuk pada
tanggal 13 Agustus 1813. Staf Direksi landrente, stelsel pajak baru, akan
langsung diperbaharui dan dipimpin oleh Raffes selaku luitnant gouverneur,
Accountant General Office (Kantor Besar Akuntan), yang memegang kekuasaan
likwidasi dan peripikasi, menguasai seluruh pembukuan. Akan tetapi dalam soal
pengawasan dan penguasaan barang-barang perbendarahaan berada di luar wewenang
mereka. Jadi wewenang dan tanggung jawab mereka terbatas; yakni hanya dalam
segi pendapatan, bukan penggunaannya.
Segala macam peraturan tentang
pengawasan, menurut ketentuan ketentuan yang lebih kemudian tidak diketahui
lagi. Dalam pada itu perihal segenap bangunan atau gedung-gedung, diserahkan
kepada para pegawai atas dasar kepercayaan pada ketulusan dan ikhtiar mereka
masing-masing.
2.2 Kebijakan Pada Masa Raffles
Pemerintahan
Raffles dalam melaksanakan sistem pajak atas tanah itu sangat mengandalkan
struktur lama berupa peran elite lokal. Dengan demikian, elite lokal mengalami
restorasi kekuasaan setelah sebelumnya berangsur didepolitisasi oleh Daendels.
Raffles juga mengenal tanah dalam jumlah besar, termasuk tanah-tanah yang telah
lama didiami penduduk kepada perusahaan pribadi (perusahaan partikelir).
Penjualan itu disertai dengan segenap peralihan hak feudal kepada perusahaan
itu (hak mengutip pajak dan pengerahan tenaga kerja di perkebunan).
Pelaksanaan
sistem pajak tanah berlangsung variatif. Secara umum dikenakan pajak secara
komunal/desa (sebagaimana yang lebih dahulu diterapkan di Banten), namun di
Probolinggo sistem itu dikenakan pada orang-perorang. 1
Pada
masa pemerintahan Raffles tahun 1811 sewa tanah menjadi satu-satunya
pendapatan. Tanah menjadi milik gubernemen dan pajak yang semula diterima
sultan dioper pemerintah. Pemindahan penguasaan tanah akan menjadi lebih hebat
akibatnya setelah dikuasai oleh pemerintah maka tanahnya dijual ke perkebunan
swasta. 2
Sistem Sewa Tanah
Latar Belakang
Pada
sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Raffles di Indonesia, pemerintah kolonial dianggap pemilik tanah
sehingga para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant),
tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan
membayar sewa tanah (landrent) atau pajak atas pemakaian tanah
pemerintah. Sewa tanah ini kemudian dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi
pemerintahan Inggris di bawah Raffles. Sistem sewa tanah ini dikenal
dengan nama landelijk stelsel. Sistem ini tidak hanya diharapkan
dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani serta
dapat merangsang mereka untuk menanam tanaman dagangan yang laku di pasaran,
akan tetapi dapat juga menjamin arus pendapatan negara.
Pelaksanaan sistem sewa tanah
mengandung banyak konsekuensi-konsekuensi yang berat atas hubungan antara
pemerintah kolonial Inggris di satu pihak dan rakyat Indonesia dengan
penguasa-penguasanya di lain pihak. Perubahan itu dapat dikatakan revolusioner
karena mengandung perubahan asasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas
rakyat dan digantikan dengan suatu sistem di mana hubungan ekonomi antara
pemerintah dan rakyat di dasarkan atas kontrak yang didasarkan atas sukarela
oleh kedua belah pihak. Jadi perubahan ini bukan hanya didasarkan pada
perubahan ekonomi semata-mata, tetapi lebih lagi merupakan perubahan sosial
budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan
kontrak yang belum pernah dikenal. Dengan demikian kehidupan masyarakat Jawa
yang tradisional hendak digantikan dengan kehidupan masyarakat seperti yang
dikenal masyrakat di negara barat. Demikian pula dengan sistem ekonomi
masyarakat Jawa yang tradisional dan feodal itu hendak digantikan dengan sistem
ekonomi yang didasarkan pada lalu lintas perdagangan yang bebas.
Usaha Penanaman Kopi
Usaha penanaman kopi ini merupakan
warisan dari pemerintahan sebelum pemerintahan Raffles berlangsung. Penanaman
kpi ini tetap dilangsungkan dikarenakan banyaknya para pemilik lahan atau
perkebunan maupun pemerintah kolonial yang tidak setuju dengan adanya sistem
sewa tanah disebabkan karena dengan adanya penanaman kopi keuntungan yang
diperoleh lebih besar dan kopi merupakan komoditas yang penting untuk diekspor.
Di bidang Politik
Politik kolonial Raffles bertolak
dari ideologi liberal dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan
memberikan kebebasannya. Pelaksanaan politik liberal itu berarti bahwa struktur
tradisional masyarakat feodal perlu dirombak sama sekali dan diganti dengan
sistem baru yang didasarkan atas prinsip legal-rasionalitas. Pemerintahan perlu
tersusun dari suatu birokrasi yang melepaskan fungsi-fungsi tradisonal dan
feodal, terutama dalam hubungannya dengan pemungutan hasil dan pengerahan
tenaga rakyat menurut sistem VOC. Perubahan struktural semacam itu sukar
dilaksanakan tanpa mengadakan perubahan mental dan kultur dari unsur-unsur
pemerintahan yang pada umumnya masih hidup dalam alam tradisional
Pembagian Teritori Tanah Jawa
Pada masa Daendels, Jawa jatuh ke
tangan Pemerintah Inggris. Thomas Stanford Rafles (1811-1816) diangkat sebagai
Letnan Gubernur untuk mewakili Raja Muda Inggris, Lord Minto yang berkedudukan
di India. Pada masa pemerintahan Raffles, Jawa yang meliputi seluruh kawasan
Pesisir Utara Jawa dibagi menjadi 16 (enam belas) provinsi ; Banten, Batavia,
Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Jipang-Grobogan, Jepara, Rembang,
Gresik, Surabaya,
1.
Ahmad
Nashih Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Sumbangan Pemikiran Mazhab
Bogor, Pustaka Ifada, Yogyakarta, 2011,
hal 32-33.
2.
Suhartono
W Pranoto, Jawa Bandit-Bandit Pedesaan,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal 37.
2.3 Keadaan
Sosial Masyarakat Masa Raffles
Inggris mendarat di Batavia pada tanggal 11 Agustus 1811 dan langsung
menyerang Belanda. Akhirnya Batavia jatuh ke tangan Inggris dan Janssens
sebagai pengganti Gubernur Jenderal Daendels lari ke Tuntang. Ia tidak
mempunyai pilihan, selain menyerah kepada pasukan Inggris yang dipimpin Lord
Minto. Menyerahnya Belanda itu tertuang dalam Perjanjian Tuntang (1811). Isi
Perjanjian Tuntang adalah sebagai berikut.
a. Seluruh kekuatan
militer Belanda di Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris.
b. Utang pemerintah
Belanda tidak diakui Inggris.
c. Pulau Jawa,
Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Jawa menjadi wilayah kekuasaan
Inggris. Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (1811–1816) sebagai letnan
gubernur jenderal mewakili Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta, India.
Perubahan-perubahan penting yang dilakukan Raffles adalah sebagai berikut.
Bidang Pemerintahan
1) Membagi Pulau
Jawa menjadi 18 karesidenan dan mengangkat asisten residen orang Eropa sebagai
pengawas bupati.
2) Mengurangi
kekuasaan para bupati dengan menjadikannya sebagai pegawai pemerintah dan
digaji dengan uang, sehingga tidak mengandalkan pajak dari masyarakat.
3) Menerapkan
pengadilan dengan sistem juri.
Bidang Ekonomi
1) Menghapuskan
sistem kerja rodi yang pernah diterapkan oleh Daendels, kecuali untuk daerah
Priangan dan Jawa Tengah.
2) Menghapuskan pelayaran
hongi yang pernah diterapkan oleh VOC.
3) Menghapuskan
sistem perbudakan.
4) Menghapuskan
penyerahan wajib dan hasil bumi dari penduduk kepada penguasa.
5) Melaksanakan
sistem pajak tanah (landrent system) dengan ketentuan petani harus
menyewa tanah yang digarapnya kepada pemerintah, di mana besarnya sewa tanah
disesuaikan dengan keadaan tanah. Pajak bumi harus dibayar dengan uang atau
beras, dan orangorang yang bukan petani dikenakan pajak kepala.
Kegiatan Raffles yang berjasa dalam bidang ilmu pengetahuan
antara lain sebagai berikut.
a. Membangun Gedung Harmoni untuk lembaga ilmu pengetahuan Bataviassch
Genootshap.
b. Menulis sejarah kebudayaan dan alam Jawa dalam “History
of Java.”
c. Sebagai perintis Kebun Raya Bogor, dan Nama Raffles
diabadikan sebagai nama bunga bangkai rafflesia arnoldi.
DAFTAR PUSTAKA
Luthfi, Ahmad Nashih. 2011. Melacak Sejarah
Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Jawa:
Bandit-Bandit Pedesaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar