Selasa, 16 April 2013

MASALAH TANAH PADA MASA RAFFLES

2.1     Sistem Pembagian Tanah Pada Masa Raffles
Sudan lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula. Demikian pula dalam pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan penyimpangan-penyimpangan, meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September 1811 telah ditentukan bahwa segala macam kekuatiran akan terjadinya perubahan besar-besaran akan dihindarkan. Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sistem pajak tanah, yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian.
Pengenalan sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan. Gagasannya itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC), yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk. Menurut Raffles sistem penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, akan memberikan peluang tindakan penindasan, dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk, karena itu merugikan pendapatan negara. Maka dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.
Dalam pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan pajak secara sedesa dan secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil tanaman, terutama dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan wajib melalui penguasa pribumi, dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini para bupati dan kepala desa memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi Raffles tidak menyukai cara ini, karena penetapan pajak per desa akan mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi, dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, Maka dan itu, Raffles lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan, karena akan lebih menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan, sekalipun tidak mudah.
Isi pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah maupun di lahan tegal. Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi kesuburan tanah masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut :
      1)      Pajak Tanah Sawah :
Golongan           I,          1/2        Hasil Panenan
Golongan           II,         2/5        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/3        Hasil Panenan

      2)      Pajak Tanah Tegal :
Golongan           I,          2/5        Hasil Panenan
Golongan           II,         1/3        Hasil Panenan
Golongan           III,        1/4        Hasil Panenan

Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak per desa, dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan pajak secara perseorangan.
Dalam pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak menimbulkan penyelewengan.

C.     PELAKSANAAN LANDRENTE
Kembali kepada soal pajak-tanah (Landrente) yang diciptakan oleh Raffles dengan pengumuman 11 Pebruari 1811, ternyata telah mendapat beberapa tantangan. Khususnya dalam bidang administrasi, telah timbul berbagai kesulitan yang sukar diselesaikan. Sebagaimana telah disinggung dimuka, peraturan itu terlalu tergesa-gesa dikeluarkan dan serta merta sudah ada beberapa orang yang tidak dapat menerimanya. Inilah satu sebab terpenting mengapa landrente tidak dapat berjalan lancar. Sebab yang lain ialah, keadaan sosial-ekonomis penduduk desa rata-rata sangat sukar untuk dapat.memenuhi pajak tanah tersebut, padahal mereka sudah mempunyai kewajiban lain, yakni membayar iuran kas desa.
Sebegitu jauh, setelah diusahakan sungguh-sungguh, landrente hanya dapat dilaksanakan agak tertib di Jawa Tengah dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur (Banyuwangi, Probolinggo) di wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak dapat dijalankan, maka secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan sistem lama. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa, misalnya di Madura, Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah ditentukan.
Karena kemacetan-kemacetan yang dialami dalam pelaksanaan system tersebut, pemerintah akhirnya mengadakan pembaharuan besar-besaran, meliputi bidang administrasi dan staf pegawai. Perombakan administrasi keuangan, kecuali yang bersangkut paut dengan landrente akan digarap oleh Revenue Committee (Komisi Pembaharuan) yang dibentuk pada tanggal 13 Agustus 1813. Staf Direksi landrente, stelsel pajak baru, akan langsung diperbaharui dan dipimpin oleh Raffes selaku luitnant gouverneur, Accountant General Office (Kantor Besar Akuntan), yang memegang kekuasaan likwidasi dan peripikasi, menguasai seluruh pembukuan. Akan tetapi dalam soal pengawasan dan penguasaan barang-barang perbendarahaan berada di luar wewenang mereka. Jadi wewenang dan tanggung jawab mereka terbatas; yakni hanya dalam segi pendapatan, bukan penggunaannya.
Segala macam peraturan tentang pengawasan, menurut ketentuan ketentuan yang lebih kemudian tidak diketahui lagi. Dalam pada itu perihal segenap bangunan atau gedung-gedung, diserahkan kepada para pegawai atas dasar kepercayaan pada ketulusan dan ikhtiar mereka masing-masing.


2.2     Kebijakan Pada Masa Raffles
          Pemerintahan Raffles dalam melaksanakan sistem pajak atas tanah itu sangat mengandalkan struktur lama berupa peran elite lokal. Dengan demikian, elite lokal mengalami restorasi kekuasaan setelah sebelumnya berangsur didepolitisasi oleh Daendels. Raffles juga mengenal tanah dalam jumlah besar, termasuk tanah-tanah yang telah lama didiami penduduk kepada perusahaan pribadi (perusahaan partikelir). Penjualan itu disertai dengan segenap peralihan hak feudal kepada perusahaan itu (hak mengutip pajak dan pengerahan tenaga kerja di perkebunan). Pelaksanaan sistem pajak tanah berlangsung variatif. Secara umum dikenakan pajak secara komunal/desa (sebagaimana yang lebih dahulu diterapkan di Banten), namun di Probolinggo sistem itu dikenakan pada orang-perorang. 1
          Pada masa pemerintahan Raffles tahun 1811 sewa tanah menjadi satu-satunya pendapatan. Tanah menjadi milik gubernemen dan pajak yang semula diterima sultan dioper pemerintah. Pemindahan penguasaan tanah akan menjadi lebih hebat akibatnya setelah dikuasai oleh pemerintah maka tanahnya dijual ke perkebunan swasta. 2

    Sistem Sewa Tanah
Latar Belakang
          Pada sistem pemerintahan yang diterapkan oleh Raffles di Indonesia,  pemerintah kolonial dianggap pemilik tanah sehingga para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant), tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (landrent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah ini kemudian dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintahan Inggris di bawah Raffles. Sistem sewa tanah ini dikenal dengan  nama landelijk stelsel. Sistem ini tidak hanya diharapkan dapat memberikan  kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani serta dapat merangsang mereka untuk menanam tanaman dagangan yang laku di pasaran, akan tetapi dapat juga menjamin arus pendapatan negara.
Pelaksanaan sistem sewa tanah mengandung banyak konsekuensi-konsekuensi yang berat atas hubungan antara pemerintah kolonial Inggris di satu pihak dan rakyat Indonesia dengan penguasa-penguasanya di lain pihak. Perubahan itu dapat dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan asasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan digantikan dengan suatu sistem di mana hubungan ekonomi antara pemerintah dan rakyat di dasarkan atas kontrak yang didasarkan atas sukarela oleh kedua belah pihak. Jadi perubahan ini bukan hanya didasarkan pada perubahan ekonomi semata-mata, tetapi lebih lagi merupakan perubahan sosial budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal. Dengan demikian kehidupan masyarakat Jawa yang tradisional hendak digantikan dengan kehidupan masyarakat seperti yang dikenal masyrakat di negara barat. Demikian pula dengan sistem ekonomi masyarakat Jawa yang tradisional dan feodal itu hendak digantikan dengan sistem ekonomi yang didasarkan pada lalu lintas perdagangan yang bebas.

Usaha Penanaman Kopi
Usaha penanaman kopi ini merupakan warisan dari pemerintahan sebelum pemerintahan Raffles berlangsung. Penanaman kpi ini tetap dilangsungkan dikarenakan banyaknya para pemilik lahan atau perkebunan maupun pemerintah kolonial yang tidak setuju dengan adanya sistem sewa tanah disebabkan karena dengan adanya penanaman kopi keuntungan yang diperoleh lebih besar dan kopi merupakan komoditas yang penting untuk diekspor.

Di bidang Politik
Politik kolonial Raffles bertolak dari ideologi liberal dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan kebebasannya. Pelaksanaan politik liberal itu berarti bahwa struktur tradisional masyarakat feodal perlu dirombak sama sekali dan diganti dengan sistem baru yang didasarkan atas prinsip legal-rasionalitas. Pemerintahan perlu tersusun dari suatu birokrasi yang melepaskan fungsi-fungsi tradisonal dan feodal, terutama dalam hubungannya dengan pemungutan hasil dan pengerahan tenaga rakyat menurut sistem VOC. Perubahan struktural semacam itu sukar dilaksanakan tanpa mengadakan perubahan mental dan kultur dari unsur-unsur pemerintahan yang pada umumnya masih hidup dalam alam tradisional

Pembagian Teritori Tanah Jawa
          Pada masa Daendels, Jawa jatuh ke tangan Pemerintah Inggris. Thomas Stanford Rafles (1811-1816) diangkat sebagai Letnan Gubernur untuk mewakili Raja Muda Inggris, Lord Minto yang berkedudukan di India. Pada masa pemerintahan Raffles, Jawa yang meliputi seluruh kawasan Pesisir Utara Jawa dibagi menjadi 16 (enam belas) provinsi ; Banten, Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Jipang-Grobogan, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya,
 

1.       Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor, Pustaka Ifada, Yogyakarta,  2011, hal 32-33.
2.       Suhartono W  Pranoto, Jawa Bandit-Bandit Pedesaan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal 37.

2.3  Keadaan Sosial Masyarakat Masa Raffles
         Inggris mendarat di Batavia pada tanggal 11 Agustus 1811 dan langsung menyerang Belanda. Akhirnya Batavia jatuh ke tangan Inggris dan Janssens sebagai pengganti Gubernur Jenderal Daendels lari ke Tuntang. Ia tidak mempunyai pilihan, selain menyerah kepada pasukan Inggris yang dipimpin Lord Minto. Menyerahnya Belanda itu tertuang dalam Perjanjian Tuntang (1811). Isi Perjanjian Tuntang adalah sebagai berikut.
a. Seluruh kekuatan militer Belanda di Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris.
b. Utang pemerintah Belanda tidak diakui Inggris.
c. Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Jawa menjadi wilayah kekuasaan Inggris. Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (1811–1816) sebagai letnan gubernur jenderal mewakili Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta, India. Perubahan-perubahan penting yang dilakukan Raffles adalah sebagai berikut.
Bidang Pemerintahan
1) Membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan dan mengangkat asisten residen orang Eropa sebagai pengawas bupati.
2) Mengurangi kekuasaan para bupati dengan menjadikannya sebagai pegawai pemerintah dan digaji dengan uang, sehingga tidak mengandalkan pajak dari masyarakat.
3) Menerapkan pengadilan dengan sistem juri.

Bidang Ekonomi
1) Menghapuskan sistem kerja rodi yang pernah diterapkan oleh Daendels, kecuali untuk daerah
Priangan dan Jawa Tengah.
2) Menghapuskan pelayaran hongi yang pernah diterapkan oleh VOC.
3) Menghapuskan sistem perbudakan.
4) Menghapuskan penyerahan wajib dan hasil bumi dari penduduk kepada penguasa.
5) Melaksanakan sistem pajak tanah (landrent system) dengan ketentuan petani harus menyewa tanah yang digarapnya kepada pemerintah, di mana besarnya sewa tanah disesuaikan dengan keadaan tanah. Pajak bumi harus dibayar dengan uang atau beras, dan orangorang yang bukan petani dikenakan pajak kepala.

Kegiatan Raffles yang berjasa dalam bidang ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut.
a. Membangun Gedung Harmoni untuk lembaga ilmu pengetahuan Bataviassch Genootshap.
b. Menulis sejarah kebudayaan dan alam Jawa dalam “History of Java.”
c. Sebagai perintis Kebun Raya Bogor, dan Nama Raffles diabadikan sebagai nama bunga bangkai rafflesia arnoldi.

DAFTAR PUSTAKA
Luthfi, Ahmad Nashih. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Jawa: Bandit-Bandit Pedesaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar